Janganlah Rasa Tertinggal Setelah Senja

“Gue mau somasi mantan suami gue.”

“Bused, kayak artis aja lo.”

“Habis dia udah nggak bayar nafkah anak gue 3 bulan. Padahal gue tau dia punya uang, lha wong dia kelayapan ke Singapore.”

Hm, senja kemarin membawa pembicaraan menarik yang terdengar di coffee shop bawah apartment saya, antara sekelompok wanita umur 30-an.

“Ngapain sih?”

Salah satu dari perempuan itu bertanya.

“Soalnya dia lari dari tanggung jawab. Somasi ini adalah cara elegan untuk menuntut apa yang jadi hak gue dan anak gue.”

“Buang-buang waktu lah. Gue males berurusan sama hukum dan birokrasi.”

“Emang somasi nggak buat semua orang kok. Lagian dari awal gue juga menyerahkan semuanya ke lawyer gue. Pusing lah kalo diurus sendiri.”

Ada yang bilang kalau marah itu jangan sampai matahari terbenam. Kuburlah dendammu bersama senja. Jangan memelihara marah lama-lama. Tapi, emang bisa ya?

Photo by Krivec Ales on Pexels.com

Kalo kata salah satu kolumnis di Psychology Today, rasa marah ini membuat kita merasa jadi korban, bahwa kita dizolimi. Rasa marah juga memberikan adrenaline rush yang membuat kita merasa “morally superior” dari siapapun yang membuat kita marah. Rasa marah adalah cara kita menghadapi perasaan terluka, meyakinkan diri sendiri bahwa kita adalah korban tak bersalah dari pihak sebelah sana. Kita tidak akan melakukan hal yang sama dengan si pelaku, dan ini membuat kita merasa jadi pihak yang benar. Sama kayak perempuan-perempuan di meja sebelah tadi.

“Sementara gue capek kerja demi anak, dia malah hura-hura.”

Ketika matahari terbenam, terbitlah semangat untuk somasi. Semua karena marah. Rasa yang tertinggal.

Take a step back and check, what did you feel before anger? Perasaan apa yang muncul sebelum marah mengambil alih? Dikhianati? Harga diri terluka? Rasa bersalah? Merasa tidak berdaya? Apapun itu, pasti adalah rasa tidak nyaman yang akhirnya ditutupi dengan amarah. Bahkan setelah senja selesai. Kenapa?

Soalnya marah itu addictive. Bikin ketagihan. 

When you’re angry, you feel powerful. Siapa sih yang tidak mau merasa kuat, keren dan superior? Menilik kasus perempuan tadi, menyewa pengacara untuk somasi mantan suami jelas membuatnya merasa kuat. Merasa lebih superior dari mantan suami karena bisa menuntut nafkah dan memberi tahu bahwa dia salah. Apalagi kalau menang. Wah, keren banget kan. Menginspirasi dong. Rasa inilah yang membuat banyak orang bertahan dalam kemarahan.

Tapi apakah pasrah dan diam saja lebih baik? Well, buat saya iya. Soalnya, lawan kata cinta itu bukan benci, tapi tidak perduli. Baik cinta maupun benci ini adalah ‘rasa’, yang ingin saya akhiri bersama senja. Bukan sesuatu yang ingin saya pelihara hingga pagi berikutnya. Jadi, buat yang bilang “oh, gue sih udah move on dari mantan suami. Gue cuma mau menuntut hak gue aja.” Mohon maaf, saya tidak percaya. Menuntut hak sambil marah-marah, mensomasi mantan suami karena ditinggal pergi, ya namanya belum move on. 

Satu quotes yang saya temukan online bilang, “every sunset is an opportunity to reset.” Alias, setiap senja adalah kesempatan untuk mulai baru. Senja adalah waktu yang tepat untuk melepaskan semua amarah dan kesibukan, lalu beristirahat. Senja juga mengajarkan saya bahwa sekacau apapun hari ini, seberat apapun cobaannya, hari akan berakhir dan kita punya kesempatan untuk beristirahat. 

Besok adalah hari baru.

Usahakan jangan meninggalkan rasa yang semu.

Tinggalkan komentar