Apresiasi Bukan Pembodohan Tetapi Penghargaan

Sebagai seorang penulis, blogger, mantan jurnalis, atau sebutlah semua profesi sejenis itu, saya sering dilema tentang bagaimana menyikapi apresiasi. Baru-baru ini, karena mengambil jeda menulis yang serius dan mencoba banting setir ke dunia fiksi, saya menemukan jenis apresiasi yang baru. Namanya sertifikat.

Sejak pandemi, yang namanya sertifikat, terutama dalam bentuk digital, ada bertebaran di mana-mana. Ikut webinar online, dapat sertifikat sebagai peserta. Ikut challenge menulis, dapat sertifikat juga. Ikut workshop, dapat sertifikat. Ikut bootcamp dapat sertifikat. Menang lomba dapat sertifikat pemenang, kalau kalah masih dapat sertifikat finalis. Nggak masuk final pun dapat sertifikat partisipan. Menarik memang.

Sampai saya menemukan satu komentar tentang sertifikat sebagai pembodohan. Emang sertifikat itu bisa buat apa? Cari kerja? Cari uang? Ikutan challenge menulis atau jadi peserta webinar terus cuma dapat sertifikat. Minimal dapat merchandise dong, kan saya sudah dimanfaatkan sebagai peserta webinar yang kemudian dianggap sukses karena banyak yang hadir. Kan saya juga sudah digunakan sebagai pendongkrak engagement sebuah akun media sosial penyelenggara challenge. Emang begitu ya pemikirannya? Sertifikat adalah salah satu pembodohan masyarakat.

Photo by wewe yang on Pexels.com

Setiap tulisan berharga. Iya, paham. Saya juga penulis profesional yang dibayar per-kata. Lalu, kenapa saya mau ikutan challenge nulis kalau hanya dapat sertifikat? Setiap kehadiran berarti. Iya, paham. Saya juga lulusan jurnalistik. Lalu, kenapa saya mau ikutan webinar kepenulisan kalau hanya dapat sertifikat? Kebanting dong kalau dibandingkan dengan ijasah sarjana saya?

Orang yang merasa pintar akan selalu takut akan pembodohan. Tetapi orang yang benar-benar pintar akan terus mencari cara untuk belajar.

Kenapa apresiasi berupa sertifikat adalah penghargaan buat saya? Karena ada seseorang yang perduli dengan apa yang saya lakukan. Saya hadir sebagai peserta, mendapatkan ilmu dan networking. Kalaupun ternyata ilmunya kurang relevan, dan networking tidak berlanjut, saya masih mendapatkan waktu ‘me time’ untuk diri saja sendiri setidaknya satu jam selama kelas berlangsung. Waktu jeda untuk menjadi mindful. Tidak ada sesuatu yang terbuang jika memang tujuan kita belajar dan mau mengosongkan gelas (atau botol, terserah yang punya wadah aja). Sertifikat itu di mata saya adalah sebuah ucapan terima kasih karena saya telah hadir di sana.

Begitu juga dengan challenge menulis, menggambar, desain canva dan lain sebagainya. Ketika ada sertifikat di penghujung acara yang diberikan atas partisipasi penuh saya di sebuah challenge, saya merasa dihargai. Oh, ada juga yang menyadari bahwa saya berkomitmen mengikuti challenge. Kalau istilah jaman sekarang tuh di-notice, meski bukan sama gebetan atau bias. Tujuan saya ikut challenge bukan karena sertifikatnya, tapi karena mau networking, me time dan belajar. Sertifikat sebagai peserta buat saya adalah penanda bahwa saya bisa melakukan sesuatu secara konsisten dan upaya si penyelenggara berterima kasih kepada saya yang sudah meramaikan eventnya.

Hari gini, siapa yang mau bergerak kalo nggak ada uang? Saya. Apresiasi tidak harus berupa uang atau moneter. Kalau bicara selembar kertas, apa kabar pacaran belasan tahun, nyicil rumah ratusan juta, pesta mengundang ribuan orang, hanya untuk selembar sertifikat sah sudah jadi suami-istri? Apa kabar jalan-jalan ke Jepang, rebutan tiket di travel fair, menabung tahunan dan bertarung untuk mendapatkan cuti hanya untuk selembar foto? Pembodohan juga? Terjebak iklan travel agent? Dimanfaatkan pemerintah untuk kelangsungan negara?

Bukan kertasnya, bukan sertifikatnya. Tetapi apa yang membuat kita tersenyum ketika kita memandang lembaran itu.

Terbayang ketika saya sudah di panti jompo, scrolling ponsel lalu menemukan sertifikat challenge nulis antologi, di mana saya lolos jadi peserta terpilih yang masuk ke bukunya. Lucu juga ya dulu jaman masih muda. Bukannya dapat royalti, malah tekor karena jadi harus beli bukunya. Untung karena sering nulis, saya jadi tidak pikun.

Kalau sudah begini, yang bodoh siapa?

bodoh/bo·doh/ a 1 tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dan sebagainya); 2 tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman); 3 cak terserah (kepadamu)

KBBI

Satu tanggapan untuk “Apresiasi Bukan Pembodohan Tetapi Penghargaan

  1. Wah baca ini saya jadi termenung memikirkan betapa malasnya saya mengumpulkan sertifikat, hahaha.

    Bahkan, saya kadang lupa kalau pernah dapat sertifikat A, sertifikat B.

    Kalau saya ikut challenge, emang orientasinya bukan ke sertifikat, tapi ke semangat saya yang semakin terpacu ketika ikut challenge.

    Tapi, bukan menganggap sertifikat ga penting. Melainkan lebih ke ‘saya masih tertatih dalam manajemen ngumpulin sertifikat’ 😀

    Dan menurut saya, sertifikat itu bagus sih, sebagai penghargaan yang lebih.

    Tapi, saya berpikir, mengapa ada yang bilang kalau sertifikat itu pembodohan.

    Karena saya tahu persis, di zaman sekarang, banyak yang bayar hanya untuk punya sebuah sertifikat demi sebuah syarat 😀

    Jadi, mungkin itu tujuannya bukan ke orang-orang yang memang serius dalam challenge. Tapi ditujukan buat orang yang beli sertifikat semata 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar